Siasat Katulistiwa | Nirwan Dewanto

Biennale seni rupa sesungguhnya adalah bagian paling hilir dari seluruh jaringan pelembagaan seni rupa di sebuah kota atau sebuah negeri. Salah satu mata rantai pelembagaan yang mantap itu adalah museum seni rupa dengan koleksi dan kurasi yang terpercaya, yang membuat publik datang kepadanya untuk menghayati khazanah seni rupa nasional.

Sementara itu, di bagian hulu dari mata rantai yang panjang itu, para seniman rupa bereksperimen mereaksi khazanah seni rupa nasional maupun dunia—dan para peneliti, kritikus dan kurator mengolah wacana yang bersangkut-paut dengan segala eksperimen kreatif itu.

nirwanSeperti kita tahu, jaringan seni rupa yang saya maksud di atas itu di tanah air kita tidak ada. Boleh dikatakan bahwa publik kita tidak mengenal seni rupa Indonesia (dan tampaknya satu-satunya kebudayaan yang mereka kenal ialah kebudayaan populer). Dan, sebagaimana pernah dikatakan oleh kritikus Sanento Yuliman, karya-karya seni rupa kita mendarat—terpingit—di pangkuan para kolektor belaka, seakan tersembunyi selama-lamanya. Sementara itu, pameran-pameran di berbagai galeri dan “rumah seni” tampaknya hanya menarik minat lingkaran kolektor dan seniman sendiri.

Di seberang “kemiskinan nasional” tersebut di atas, di aras internasional, Indonesia tampaknya dapat membanggakan seni rupanya—yakni di berbagai biennale penting, balai lelang, art fairs, residencies, pesanan karya oleh merek-merek dagang besar, dan tentu saja dalam koleksi sejumlah museum dan kolektor utama. Internasionalisme adalah ciri penting dari praktek dan pewacanaan seni rupa Indonesia mutakhir. Paling tidak sudah dua-tiga dasawarsa terakhir ini para seniman dan kritikus seni rupa kita tidak lagi bicara tentang “kepribadian nasional”—yang dulu adalah jargon kunci kaum “modernis nasional” yang tampaknya dibebani secara sadar atau tak sadar oleh diktum “kebudayaan nasional adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah”.

Kurang-lebih dalam 15-an tahun terakhir, berbagai biennale di Indonesia adalah jawaban terhadap internasionalisme tadi. Sudah sangat sedikit, dan barangkali juga tidak ada, biennale yang berniat menjaring karya-karya puncak seni rupa kita yang mengusung “pencarian identitas keindonesiaan”, seperti yang dikerjakan rangkaian Biennale oleh Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1970-an. (Kita ingat pula, bahwa paradigma “modernisme keindonesiaan” di lingkungan seni rupa Taman Ismail Marzuki sudah berakhir dengan Biennale Seni Rupa ke IX di tahun 1993 dengan kurator Jim Supangkat.) Demikianlah, tanpa “nasionalisme” berbagai biennale seni rupa kita adalah upaya sang kurator untuk merumuskan kembali apa dan bagaimana itu sesungguhnya seni rupa.

Secara lebih khusus, internasionalisme yang saya maksud adalah internasionalisme baru yang mencoba mengguncangkan modernisme tinggi yang berporos Paris-New York. Dalam internasionalisme lama, berlaku prinsip bahwa pengaruh seni rupa memancar dari wilayah pusat (yaitu negara-negara “maju”, seringkali bekas penjajah) ke wilayah pinggiran (yaitu negara-negara “berkembang”, seringkali bekas jajahan), seiring dengan arus modal, barang dan jasa dalam kapitalisme sedunia. Dalam internasionalisme baru, perkembangan artistik (mencoba) membebaskan diri dari warisan struktur pusat-pinggiran. (Dan bukankah hal ini setara pula dengan bangkitnya sejumlah negara Dunia Ketiga sebagai kekuatan ekonomi global yang baru?). Maka pusat-pusat lama, kalau pun bukan kehilangan pengaruh, berusaha mendekonstruksikan diri sendiri, menjadi lebih terbuka terhadap apa-apa yang dulu direndahkannya; sementara pusat-pusat baru
bertumbuhan wilayah (yang dulu disebut) pinggiran.

Berbagai pusat baru itu di negeri-negeri Dunia Ketiga—berbagai museum dan biennale, misalnya—itu sudah barang tentu berusaha keras membangun ciri khas dan “politik kesenian” yang bisa menonjolkan mereka di aras internasional, dan semua itu jelas adalah bagian dari pelembagaan seni rupa di ranah nasional masing-masing. Tapi jelaslah kiprah mereka mendorong arus pertukaran yang tak terbayangkan di zaman modernisme tinggi, yaitu lalu lalang kreativitas, wacana dan barang-barang seni dari pinggiran ke pinggiran. Seni rupa mutakhir Indonesia jelaslah tumbuh menyokong dan disokong oleh internasionalisme baru yang demikian.

Dua Biennale seni rupa yang akan segera kita saksikan—yaitu Biennale Jogja XII dan Jakarta Biennale ke-15—dengan cara masing-masing, saya kira, hendak menjawab kemiskinan kelembagaan seni rupa kita dan dorongan internasionalisme yang sudah saya paparkan di atas. Adapun tulisan ini, yang dibuat sebelum kedua Biennale itu berlangsung, juga mencoba melihat apa yang mungkin terjadi di ruang-ruang pajangan berdasarkan pikiran para penggagas kedua Biennale tersebut.

Para penggagas dan penyenggara Biennale Jakarta sejak empat tahun terakhir ini—khususnya sejak Biennale yang ke-13—meletakkan seni rupa dalam tanda kutip: yaitu bahwa seni rupa adalah “kemungkinan estetik” yang selalu berhubungan dengan praktek sosial. Dengan prinsip ini, kita bisa membayangkan bahwa dalam Biennale yang bersangkutan kita tidak akan—atau sedikit sekali—melihat karya-karya konvensional seperi lukisan atau patung. Kita mungkin akan bersiap-siap memandang berbagai aneka karya “media baru” yang akan dipajang—pun bukan di ruang-ruang pameran yang tidak lazim, misalnya saja di basement Teater Jakarta, sejumlah area publik seperti lapangan parkir di derah perbelanjaan. Sejumlah ruang pamer konvensional masih akan dipergunakan, namun tampaknya itu semua akan ditransformasikan menjadi “sesuatu yang lain”.

Barangkali boleh dikatakan bahwa Biennnale Jakarta adalah sejenis “intervensi” terhadap ruang kota Jakarta yang hendak “memeriksa posisi ulang warga dalam menyiasati segala keterbatasan, instabilitas, ancaman dan masalah”. Dalam pada itu, yang akan tampil bukanlah karya-karya hasil meditasi individu-seniman, tapi karya-karya yang berbasis riset, dan besar kemungkinan hasil kolaborasi dan komunitas dari Indonesia maupun berbagai negara di lima benua.

Dengan tajuk “Siasat”, Biennale Jakarta kali ini bukan saja siasat untuk memeriksa kembali aspek-aspek sosial seni rupa mutakhir, tetapi juga untuk mempersoalkan dasar-dasar penyelenggaraan seni rupa itu sendiri. Para penggagas dan penyelenggaranya, misalnya, menolak untuk mempekerjakan kurator—dan mengganti kerja kurasi dengan apa mereka sebut kolaborasi, yaitu kolaborasi antara penyelenggara, seniman dan kelompok seni terlibat, dan bahkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan Biennale. Ini adalah kritik terhadap peran kurator yang, sebagaimana dikatakan oleh Ade Darmawan, sang Direktur Eksekutif, telah menjadi kekuasaan besar tersendiri—semacam superkreator yang menindas produksi seni dengan pilihan teorinya sendiri.

Sementara itu, Biennale Jogjakarta XII menjadi contoh eksplisit dari apa yang saya sebut di atas sebagai gerakan dari wilayah pinggiran ke wilayah pinggiran yang lain—yakni dari Indonesia ke negeri-negeri Timur Tengah, dan sebaliknya. Seperti kita tahu, dalam perkisahan seni modern dunia, dua kawasan ini tak punya hubungan sama sekali, sementara masing-masing mengembangkan wawasan modern, termasuk modernisme artistik dengan jalan menyerap, menapis dan membumikan apa-apa yang dipancarkan oleh wilayah pusat, yaitu Eropa.

Agama-agama samawi sudah menghubungkan Kepulauan Nusantara dan kawasan Timur Tengah selama berabad-abad, dan pada masa mutakhir hubungan itu “diperkaya” oleh arus orang pergi umrah dan haji, tenaga kerja, santri pembelajar ilmu agama, serta jaringan aktivisme dan terorisme. Gerakan orang, jasa dan benda inilah yang menjadi titik tolak bagi pasangan kurator Biennale Jogja XII — Agung Hujatnikajennong (Indonesia) dan Arah Rifky (Mesir) — untuk menjadi semacam mak comblang bagi seniman-seniman dari kedua kawasan untuk kerja kolaborasi.

Karya-karya seni yang akan tampil di Biennale Jogja XII adalah yang akan ber-alusi terhadap migrasi dan pertukaran di antara kedua kawasan. Para seniman itu, antara lain, berkarya melalui residensi (seorang seniman Indonesia, misalnya, berproses di sebuah negara Timur Tengah; dan seorang seniman Yaman, di Yogyakarta). Yang menarik dan baru mungkin adalah metoda dan prosedur ini: seorang seniman mengajukan proposal kepada seniman yang lain, dan yang terakhir ini berkarya menanggapi proposal itu.

Tidak terlalu sulit membayangkan bahwa kedua Biennale yang kita bicarakan di atas akan lebih menyajikan paparan ketimbang pameran. Dalam sebuah pameran, penonton di ruang pameran (yaitu ruang pameran yang konvensional seperti galeri atau museum) adalah mereka yang siap menikmati karya seni, mencerna keindahan, menilai baik-buruk sebuah karya; artinya, wawasan seni mereka selaras dengan karya-karya tersaji. Sementara dalam sebuah paparan, penonton mencari-cari di manakah keindahan, sebab karya-karya tersaji berada di luar wawasan seni mereka; atau, seluruh pengetahuan seni mereka dikonfrontasikan oleh karya-karya yang justru sedang mempersoalkan apa dan bagaimana yang telanjur disebut karya seni itu.

Sebuah paparan seni rupa pada dasarnya merupakan bagian dari apa yang selama ini disebut demokratisasi seni: yakni seni memang bukan hanya harus menyentuh isu publik tapi juga harus hadir dalam jangkauan tangan orang ramai. Bagi kalangan seni rupa sendiri, demokratisasi ialah upaya terus menerus untuk memperluas medium dan makna seni. Sementara itu, publik sendiri harus dianggap sebagai pemilik pengetahuan, termasuk pengetahuan seni, yang juga selalu memperkembangkan diri.

Di negeri-negeri yang normal, publik seni memperkembangkan diri di atas jaringan kelembagaan seni yang mantap—dan mereka bergerak seiring dengan berbagai eksperimen dalam pewacanaan dan penciptaan seni. Di tanah air kita sendiri, kurang-lebih empat dasawarsa setelah “demokratisasi seni” dicanangkan oleh Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1975, boleh dikatakan bahwa seni rupa atas sudah merangkul seni rupa bawah dan budaya massa, sementara koleksi seni rupa nasional yang terbuka untuk publik terasa semakin absen. Artinya, publik seni rupa yang nyata belum ada.

Yogyakarta, “ibukota seni rupa Indonesia sejak zaman Revolusi Kemerdekaan sampai hari ini”, misalnya, tetap saja kota tanpa museum; sementara apa yang telanjur bernama Jogja National Museum, yang menempati gedung bekas Akademi Seni Rupa Indonesia yang termasyhur itu, adalah “museum” dengan nol koleksi. (Adapun pulau-pulau cemerlang di lautan “daerah istimewa” tersebut adalah sekian rumah-studio para seniman dan rumah seni yang “tersembunyi”.)

Biennale Jogja barangkali adalah semacam shock therapy untuk masyarakat setempat yang tak sempat menatap kekayaan sejarah seni rupa mereka sendiri. Mungkin buat mereka, seni ialah peristiwa, suasana, aksiden, ketakterdugaan, pelesetan, segala sesuatu yang sama jauh dari benda rupa atau barang rupa. Khalayak Yogyakarta cenderung menatap seni rupa lebih sebagai proses daripada produk, klop dengan watak kelisanan dan serba-guyon yang kental melumuri pergaulan budaya di kota itu.

Namun janganlah lupa bahwa di masa Orde Baru, Yogyakarta adalah juga ranah seni rupa yang bisa mengatasi “nasionalisme kebudayaan” yang digalakkan rezim itu. Adalah Galeri Cemeti (kini Rumah Seni Cemeti), sebuah institusi swadaya, yang sangat berhasil dalam menjadi pintu gerbang pergaulan seni rupa Indonesia dan seni rupa internasional. Semangat internasional inilah yang kini menerus, bertransformasi ke dalam Biennale Jogja. Para penggagas dan penyelenggaranya sudah menetapkan tema besar “Equator”—yang bermakna gerakan sepanjang dan sekitar garis khatulistiwa—untuk Biennale sepanjang 2011-2022.

Salah satu masalah besar di dalam penyelenggaraan Biennale di negeri kita adalah ketidakpastian: misalnya, ketidakpastian dalam soal dukungan dana, yang membuat sang penyelenggara tidak dapat bekerja
dengan rencana yang ketat dan waktu yang cukup. Tema pokok “Siasat” yang dimajukan para penggagas dan penyelenggara Jakarta Biennale ke-15 juga dapat dimaknai dalam kaitan ini. Negosiasi dan bersiasat ialah kata kunci dalam penyelenggaraan—yaitu negosiasi dengan para peserta, dengan penguasa-dan-penyandang dana, dengan pemilik ruang yang akan jadi situs pameran, dan akhirnya dengan pemirsa.

Dan pada akhirnya Biennale itu sendiri ialah paparan rupa yang mesti bersiasat dengan lautan citra sedunia dalam konteks tanah air kita. Jika kita menerima bahwa memang semua lembaga kesenirupaan kita bersifat cair dan tak mentradisi, tidakkah lebih baik menegaskan sifat likuid tersebut dalam keseluruhan pajangan—yaitu menjadi paparan ketimbang pameran. Jika lanskap kota itu sendiri dapat dianggap sebagai padatan, maka paparan seni rupa itu ibarat cairan yang akan terus “menyesuaikan diri” dengannya—termasuk menerima segala paradox dan guncangan yang terkandung olehnya.

Menyertai Jakarta Biennale dan Biennale Jogja, adalah sebuah pameran besar di Galeri Nasional, Jakarta, yang diberi tajuk SEA Plus. Menampilkan para seniman dari Asia Tenggara (negara-negara anggota ASEAN) dan sejumlah negeri di Asia Selatan dan Asia Timur, para kurator pameran ini (tiga orang, seluruhnya dari Indonesia) hendak menampilkan apa yang mereka sebut “seni rupa global”—karya-karya yang tidak lagi terikat kepada lingkungan budaya asal. Ini adalah juga penegasan kembali tentang gerakan dari wilayah pinggiran ke pinggiran, suatu sisi lain dari “pergerakan arus informasi dan investasi ekonomi yang tak memiliki pusat”. Menurut rencana yang masih mengandung konon, SEA Plus kelak akan menjadi Biennale yang ditaja Pemerintah Pusat.

Internasionalisme dari wilayah pinggiran—sebagaimana diperlihatkan oleh Jakarta Biennale ke-15, Biennale Jogja XII, dan SEA Plus barangkali ialah kompensasi atas segala ketidakmampuan kita membangun, memperkokoh dan merawat berbagai institusi seni rupa bagi publik nasional. Sifat likuid penyelenggaraan ketiganya—yang saya kira lebih berupa paparan ketimbang pameran—seakan menjadi siasat lembut-halus tak terkatakan untuk mengobati kegagalan negara dalam membangun kebudayaan nasional. Modernitas kita tetap berbau kampung, modernisme kita hanya setengah-hati, birokrasi kita menggerogoti dirinya sendiri: itulah sebabnya khalayak kita harus membiasakan diri dengan museum-tanpa-dinding yang hanya terisi oleh karya-karya dari masa depan.

Sumber Teks dan Foto: http://kongreskesenian2015.org/2015/12/20/siasat-katulistiwa/

 

Leave a comment