Jejak Luka (Dua Belas)

Jejak LukaHari Jumat pagi, aku dikunjungi oleh sahabat dan keluarga, Maya dan Nisa menangis melihat wajahku yang pucat. Kunjungan mereka menjadi sesuatu yang tak akan kulupakan. Aku tahu mereka berharap banyak padaku. Bukan hanya anak dan istriku, tetapi masyarakat itu juga berharap banyak, setelah kematian ayahku Syekh Abdul Manan.

Saat pertemuan itu, aku tidak diperbolehkan keluar dari sel. Masyarakat pun tidak boleh masuk bersama-sama menemuiku. Hanya wakil mereka yang datang mencoba meneguhkan hatiku untuk tetap sabar dalam cobaan yang teramat berat ini. Maya, Nisa, dan Tuanku Salim yang bisa menemuiku. Dalam perjumpaan itu, mula-mula Maya dan Nisa yang bicara padaku. Sementara itu Tuanku Salim disuruh untuk menunggu agak jauh dari sel.

“Sabarlah, Sayang…jangan menangis, duka di matamu itu hanya semakin membuat luka di hatiku. Percayalah, suatu waktu nanti aku akan kembali bersamamu. Takkan mungkin aku mampu melanjutkan hidup tanpa kalian berdua, aku selalu berdoa pada Tuhan semoga kelak kita dipertemukan dalam kebahagiaan. Sayang…jaga anak kita, ajari dia hidup dalam realita, dia harus kuat melebihi kita, karena penderitaannya pun akan melebihi penderitaan kita.”

Aku tatap wajah Maya, dia tidak mampu bicara banyak, bahkan untuk menjawab kata-kataku. Waktu itu dia hanya menangis sambil menutup mulut dengan tangan kirinya, sementara itu tangan kanannya memegangi Nisa yang juga telah mengucurkan air mata. Terasa pada diriku betapa remuk redam jantung hatinya menghadapi kenyataan harus terpisah oleh keadaan yang menyakitkan. Mungkin seperti teriris sembilu jiwanya, perih, pedih teramat pedih tak terkirakan dengan kata-kata.

“Aku akan menunggu, kalaupun seumur hidupku akan aku pergunakan untuk menunggu Uda, aku akan tetap menunggu. Sampai langit terbelah pun akan kutunaikan kata-kataku ini. Pulanglah Uda bila suatu saat sudah terbuka jalan untuk kita bertemu kembali. Aku masih seperti dulu, perempuan yang telah menyerahkan jiwa ragaku untuk Uda, hidup dan kehidupanku, semuanya telah kudiamkan dalam lindungan Uda.”

Di belakang, opas memberi aba-aba untuk segera mengakhiri pertemuan kami. Aku sempatkan diri untuk mencium Nisa dari balik teruji besi. Setelah opas menyuruh Maya pergi, Tuanku Salim datang mengunjungiku. Aku masih berusaha keras menahan air mata agar tidak menetes ke pipi. Aku tidak ingin peristiwa ini memperlihatkan kelemahanku.

“Tuan Haji…kami berharap banyak padamu, dan kami akan selalu berdoa untuk keselamatan Tuan.”

Tak lama waktu diberikan opas untuk bicara dengan Tuanku Salim, mungkin dia curiga kalau-kalau Tuanku Salim menyampaikan pesan perjuangan kepadaku. Beberapa waktu kemudian para penjenguk meninggalkan tahanan. Aku kembali sepi, tinggal dalam kesendirian. Bersambung

 

Leave a comment