Jejak Luka (Sembilan)

Jejak Luka

Tahun  1908, tujuh hari setelah ayah dimakamkan. Serdadu Kompeni datang kembali menjemputku ke Kampung Tapi. Mau tak mau aku harus pergi, aku khawatir kampung ini juga akan dimusnahkan kalau aku tak turuti kemauan mereka.  Kini, Maya sudah tanpak agak tenang dari pada pertama kali aku dijemput beberapa hari lalu. Sebelum aku pergi dia masih sempat menyuguhkan kopi.

“Jangan buru-buru, Da, minumlah kopi ini, entah kapan lagi aku akan membuatkan kopi untuk Uda[1].”

Nisa kecil pun menimpali kata-kata ibunya.

“Minumlah, Bapak. Nisa sayang Bapak, Nisa akan tunggu Bapak pulang.”

“Anakku…sudah tak sanggup Bapak untuk meminumnya, semakin lama Bapak di sini semakin marah mereka kepada kita, Bapak tidak mau kampung ini seperti Kampung Bansa.”

Walau bagaimanapun juga, aku minum kopi buatan istriku. Aku tinggalkan Maya dan Nisa, tapi mereka mengiringi dari belakang disertai uraian air mata yang membuat hatiku luka. Sesampai di simpang jalan, aku tidak kuasa melihat anakku menangis sambil memeluk ibunya. Saat aku melihatnya, dia kejar pelukanku seperti untuk terakhir kalinya dia akan bertemu denganku.

“Bapak…aku ikut dengan Bapak.”

“Pulanglah, Nak, temani ibumu, jaga dia baik-baik. Kalau Nisa pergi, dengan siapa ibu kan ditinggalkan?”

“Tidak, Bapak, kami akan pergi dengan Bapak apapun yang akan terjadi pada Bapak.”

“Pulanglah, Sayang.”

“Tidak guna lagi kami hidup tanpa Uda.”

Tanpa kuduga ternyata Maya sudah berada di samping kami, aku berdiri menatap matanya yang luka.

“Jangan bicara seperti itu, pulanglah ke rumah, berdoa kepada Tuhan.”

Anak dan istriku akhirnya pulang, setelah aku dibawa kompeni. Terasa sakit berpisah kasih sayang. Setelah lama berjalan diiringi serdadu, kami sampai ke sebuah gudang. Saat itu matahari sangatlah panas, aku disuruh masuk ke dalam gudang itu. Aku kira Komendur Westenenk  yang berada di dalam gudang itu, ternyata dia tidak ada, hanya ada beberapa orang serdadu. Aku tidak tahu entah apa salahku hingga dibawa ke sini.

Cukup lama di dalam gudang, seorang sipir penjara  datang dan bertanya kepadaku.

“Haji Ahmad?”

“Iya!” jawabku tegas.

“Mengapa kakimu?”

Aku tidak menjawab pertanyaan yang tidak berbobot itu, dia sudah tahu kalau kakiku ini sedang terluka. Ternyata aku benar, itu hanya basa-basi tak laku sebagai pembuka kata-katanya. Setelah itu dia langsung ke maksud tujuannya.

“Haji Ahmad, kamu dinilai sebagai orang yang akan membahayakan Belanda, jadi untuk sementara kamu ditahan.”

“Membahayakan…? Apa yang aku lakukan sehingga aku dinilai membahayakan untuk Belanda…?”

“Kamu sering ceramah dan menghasut masyarakat.”

“Ah…kalian sudah dihantui rasa takut yang kalian ciptakan sendiri, sehingga melihat aku mengajar mengaji kalian anggap sebagai hal yang berbahaya. Kalau kalian tidak melakukan kesalahan-kesalahan tentu hal ini tidak akan terjadi.”

“Tidak usah banyak bicara, Haji Ahmad, yang penting kamu ditahan, apapun alasannya.”

Aku tercenung oleh kata-kata sipir penjara itu. Tapi walau bagaimanapun aku sudah bertekad untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Termasuk kejadian terburuk sekalipun. Menyaksikan aku sudah diam, sipir senjara memerintahkan kepada opas untuk segera memasang belenggu di tanganku dan memerintahkan untuk membawaku ke Bukittinggi. Untuk perintah yang kedua itu aku segera membantah.

“Tak usah aku dibelenggu, perintahkan saja akan kalian bawa ke mana aku.”

Sipir penjara itu seolah-olah tidak mendengar kata-kataku. Dia tidak menarik ucapannya sehingga seorang opas mendekatiku dengan sebuah belenggu.

“Untuk apa aku akan dibelenggu, tidak usah, aku tidak akan lari.”

Setelah berkata seperti itu aku mengambil sebuah kursi lalu duduk di atasnya. Saat aku duduk, sipir merasa aku akan mencoba-coba kemarahannya.

“Wow…mau coba-coba denganku ya…”

Sipir itu berjalan mondar-mandir sambil memutar kumisnya yang lebat. Saat dia berputar-putar, datang seorang serdadu. Serdadu itu diperintahkan oleh sipir untuk menjagaku.

“Dia tidak mempan peluru, Tuan.”

Mendengar pengakuan serdadu itu aku jadi kaget, mengapa dia sampai bicara seperti itu? Ternyata mereka benar-benar dihantui ketakutan sendiri, sehingga memandang berbahaya semua orang, bahkan aku dianggap keramat tak mempan peluru, entah dari mana dia menyimpulkan  hal itu. Apakah dia pernah datang ke Kampung Bansa dan ikut serta membunuhi orang-orang kampung dan ayahku? Atau mereka hanya sekedar mendengar ketakutan-ketakutan temannya saja. Seketika bergetar imanku mendengar kesaksian serdadu itu.

Ketika pendul jam berdentang satu kali menandakan hari pukul satu, hujan mulai turun. Aku tidak jadi dibawa ke Bukittinggi. Serdadu dan sipir penjara meninggalkanku. Aku tinggal dalam gudang seorang diri. Seperginya dua orang Belanda itu, datang seorang serdadu lain menemaniku. Hujan semakin lebat. Aku berdiri ke beranda gudang. Serdadu yang menemaniku itu membawa kursi untukku yang memandang hujan mengguyur Negeri Kamang.

“Terima kasih.”

Serdadu itu mengangguk sambil tersenyum, mencoba mengakrabiku. Aku duduk di kursi yang disediakan serdadu itu. Hatiku yang tidak menentu mulai terasa sunyi melihat hujan yang semakin deras.

Saat aku bermenung menatap hujan, seorang sersan Belanda memberikan rokok daun nipah padaku. Mungkin dia kasihan padaku yang terasa sepi. Sesaat dia meraba-raba saku celana dan saku bajunya. Mungkin dia sedang mencari korek api. Menyadari benda itu tidak ada padanya segera dia meminta pada serdadu yang manjagaku.

“Tidak usah, terima kasih. Aku tidak merokok.”

Sersan itu tak jadi memberikan rokok padaku, dia masukkan rokok yang telah dilenting itu ke dalam mulutnya, lalu menyulut dengan api yang telah diberikan temannya.

“Punya anak?”

Sersan itu bicara dalam bahasa Melayu yang sangat buruk, mencoba merintang hatiku yang sedang gamang. Aku jawab dengan pendek.

“Punya.”

“Berapa orang?”

“Satu orang?”

“Satu orang? Biasanya orang terhormat punya anak yang banyak dari istri yang juga banyak?”

“Tidak semua,“

“Aku juga sudah punya anak, tiga orang, sekarang mereka aku tinggalkan di Belanda bersama istriku.

(Bersambung)

Jejak Luka (Tujuh)

Jejak Luka

Aku cemas menyaksikan kejadian itu, aku tidak jadi berjalan, kupandangi Batudung yang kini sudah dipukuli oleh para serdadu.

“Kamu mau melawan, Batudung? Kamu akan bunuh kami dengan pisau ini, hah? Bangsat…!”

“Adakah patut saya melawan tuan-tuan yang berkedudukan tinggi?”

Komendur Westenenk segera memerintahkan para serdadu membawa Batudung. Serdadu segera mengikat tangan Batudung ke belakang, setelah itu kami berjalan. Karena tidak bisa mendapatkan Ayah mereka kesal, serdadu kompeni melepaskan tembakan ke arah rumah-rumah di sepanjang jalan, aku kehilangan akal, sepertinya peluru itu akan menembus tubuh penduduk yang sedang terlelap.

Tembakan itu terus membabi buta, membuat penduduk ketakutan di dalam rumah mereka. Di antara suara tembakan itu, Batudung berteriak kesakitan. Kakinya tertembus peluru. Senapan itu masih terus berdentam, tidak menghiraukan rintihan Batudung menahan kesakitan. Aku pun harus menghindar dari tembakan para serdadu, aku melompat ke pagar hidup pembatas jalan, saat kakiku menginjak tanah terasa sakit diinjakkan. Aku kira nasibku sama dengan Batudung, peluru serdadu itu menembus kakiku.

Aku tidak berteriak, karena teriakan hanya akan membuat lemah diriku dihadapan kompeni, aku tahan sakit yang mendera, menjalar dari kaki hingga ke ubun-ubun. Aku lihat luka di kaki itu, sepotong patahan bambu masih tertancap. Ah…ternyata aku tidak tertembak. Dengan nama Allah aku cabut patahan bambu itu, aku mendesis, mataku basah menahan sakit yang menghentak sampai ke ubun-ubun.

Malam semakin merah di langit Bansa yang dingin. Aku masih terduduk di tanah, saat itu kusaksikan penduduk sudah berlarian ke luar rumah. Serdadu Belanda mengamuk, mereka menembaki penduduk seperti berburu kijang di hutan. Anak-anak menangis dalam gendongan orang tuanya. Malam itu Kampung Bansa seakan menjadi neraka. Para gadis menangisi nasib karena direnggut paksa keperawananya oleh para serdadu Belanda. Rumah-rumah dibakar, binatang ternak dihalau ke luar dari kandang, sehingga ikut berlari bersama penduduk yang ketakutan.

Malam penyerangan Belanda ke Kampung Bansa saat itu tidak akan dapat dilupakan dalam ingatan semua orang, apalagi bagi kami yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Malam yang menakutkan, sehingga menjadi ingatan sepanjang hayat masih dikandung badan. Ibarat ukiran yang dipahatkan di batu-batu Ngalau Kamang, semuanya tidak hilang.

Keganasan kompeni itu ternyata hanya dihentikan oleh waktu subuh. Setelah beberapa Rumah Gadang dibakar sehingga hanya menyisakan puing-puing yang bisu. Aku berjalan menyeret kaki yang terluka mencari-cari Ayah di antara tumpukan mayat yang berserakan. Sejauh mata memandang mayat-mayat itu bergelimpangan; tua, muda, laki-laki perempuan, anak-anak yang tidak berdosa pun meregang nyawa. Semakin lama kucari serasa di depan mata mayat ayahku, namun sudah lama kucari-cari sosok yang kucintai itu tidak juga bertemu.

Saat subuh sudah pergi, penduduk yang masih hidup baru keluar dari persembunyian. Mencari-cari sanak saudara dengan linangan air mata. Sebagian yang terluka mencari-cari air pelepas dahaga sambil merintih menahan derita. Aku merasa bersalah kepada mereka, hanya karena kompeni tidak menemukan Ayah mereka menjadi tersiksa.

Saat cahaya matahari mulai terang, waktu itulah kutemukan jasad Ayah. Kupeluk tubuhnya yang telah menyisakan beberapa luka. Sorbannya lepas dari kepala, jubah putihnya kini memerah warna darah. Kulihat senyum di bibirnya yang terasa tenteram, aku kira dia masih hidup, kugoyang-goyangkan kepalanya dengan lambat, berharap dia terjaga. Kupanggil-panggil namanya, tetapi dia tidak menjawab kecuali tersenyum saja.

“Ayah…Ayah…”

Dia tidak mendengar panggilanku. Semakin lama aku menatap senyumnya aku semakin tidak percaya kalau dia sudah berpulang kepangkuan Tuhan tempat kembalinya semua yang bernyawa. Waktu itu aku tidak bisa menahan tangis yang menyesak keluar dari mata. Dalam tangis itu aku ingin dia mendengar kata-kataku untuk terakhir kalinya.

“Duhai, Ayah…apa salah kita hingga nasib seperti ini? Semoga kelak di akhirat kita bertemu, di tempat yang maha indah, di mana Tuhan dapat melihat kita.”

Aku bawa jasad Ayah ke pangkuanku. Walau Ayah sudah tua, ternyata jasadnya cukup berat, apalagi kakiku yang terluka membuat aku sulit untuk berjalan. Saat aku tertatih membawa jasad Ayah, orang-orang mulai berdatangan ke arahku. Mereka masih berurai air mata, tapi melihat orang yang mereka hargai itu telah meninggal dunia, mereka berebutan untuk mengantarnya. Aku maklum, kuserahkan jasad Ayah kepada orang-orang itu untuk mereka bawa. Ayah kami bawa ke atas rumah yang sudah lepas dinding-dindingnya karena senapan Belanda, dan sebagian rumah itu sudah hangus terbakar, sehingga rumah itu seperti panggung yang menganga. Setelah mayat Ayah terbujur di atas rumah, aku pamit pada orang-orang untuk ke Kampung Tapi, melihat anak dan istriku. (Bersambung)

 

Jejak Luka (Sepuluh)

 

Aku tercenung melihat sersan itu. Kuperhatikan wajahnya, sepertinya aku mulai tertarik dengan ceritanya.

“Mengapa kau tinggalkan mereka?”

Dia tidak menjawab, hanya mengangkat dua bahunya lalu menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Aku serang lagi dia dengan pertanyaanku.

“Bagaimana perasaanmu meninggalkan mereka?”

Dia diam, matanya menerawang jauh, seperti menembus gugusan Bukit Barisan. Aku tahu rasa kemanusiaannya sebagai seorang bapak mulai tersentuh. Terlepas dari siapapun dirinya, apakah kompeni atau penjahat paling biadab sekalipun, aku tahu dia sekarang sedang memerangi perasaannya sendiri.

“Jangan tanya aku seperti itu. Kau sendiri sudah merasakan bagaimana meninggalkan anak dan istrimu.”

“Setidaknya kita berbeda, kau bahagia meninggalkan mereka, sementara aku melepas mereka dengan air mata.”

Sersan itu menatap mataku, aku balas tatapannya itu. Dia mencoba mencari-cari kebenaran dari mataku yang menyala-nyala, masih menyimpan kemarahan pada setiap Belanda.

“Aku juga manusia, aku juga sedih meninggalkan mereka, meninggalkan orang-orang yang kucinta. Jangan kau kira aku berbahagia meninggalkan mereka. Walau gajiku besar dan aku bisa memperoleh harta rampasan dari daerah-daerah yang dikuasai, tapi hal itu tidak cukup untuk mendekatkan jarak yang terjadi antara aku dengan anak dan istriku. Seandainya kau tahu, betapa hampir setiap malam aku merindui mereka, seandainya kau juga tahu bagaimana aku membayangkan suatu saat bisa berkumpul kembali dengan keluargaku.”

Aku seperti di atas angin, kata-kataku mampu menggiring sersan itu pada sebuah lubang yang mereka buat atas kesalahan mereka. Aku pikir inilah waktu yang tepat untuk menghantam mereka, tidak dengan senjata, tapi dengan kata-kata. Semoga saja bisa membuat mereka gila oleh rasa bersalah.

“Lalu untuk apa kau datang ke negeri kami, memisahkan antara anak dan orang tua, memisahkan antara istri dan suami? Kalau kau masih punya harapan untuk bertemu dengan anak dan istrimu, orang-orang di sini sudah tidak sempat untuk sekedar berharap, karena orang-orang yang mereka kasihi sudah terlebih dahulu diterjang peluru.”

Sersan itu kembali terdiam, kini api rokoknya hampir mati, tapi dia tidak juga menghirup rokok itu, seperti hilang semangatnya untuk menikmatinya.

“Aku tidak punya pilihan lain.”

Sersan itu menatapku takjub, sepertinya dia masih ingin medengarkan kata-kata yang akan keluar dari bibirku, tapi tidak kulakukan itu, aku biarkan dia menghayati kata-kata yang sedang meracuni pikirannya.

“Tuan…seandainya Tuan memiliki anak perempuan yang sedang tumbuh menjadi dewasa, lalu di depan mata tuan sendiri ada orang yang memperkosanya, menghancurkan hidupnya apa yang akan Tuan lakukan? Melawan? Sementara tangan Tuan sendiri sedang dibelenggu, kepala Tuan sendiri sedang diancam dengan peluru? Apakah Tuan akan menutup mata? Sementara tangisan penderitaan anak gadis Tuan itu masih menyusup ke telinga, menghancurkan hidup Anda.“

“Tidak semua Belanda jahat, Tuan Haji.”

“Kalau tidak semua, lantas mengapa masih ada anak-anak kecil yang harus kehilangan orang tua sebelum mereka tahu apa artinya menderita, tapi tiba-tiba saja mereka sudah hidup dalam kubangan derita.”

“Tuan…jangan hukum aku seperti itu.”

“Aku tidak bermaksud menghukummu, tapi aku hanya mengeluhkan penderitaanku, penderitaan sanak saudaraku, penderitaan bangsaku.”

Sersan itu masih terdiam, kini dia tidak berani menatap wajahku, dia hanya menatap ujung sepatunya yang diselimuti debu. Setelah itu dia beranjak dari tempatnya, pergi meninggalkanku. (Bersambung)

Jejak Luka (Delapan)

Jejak Luka

Sepanjang jalan di Kampung Bansa aku melihat penderitaan yang tiada tara, ibu yang masih hidup menangis seperti orang gila meratapi tubuh bayinya yang tinggal separo. Seorang suami menangis beriba hati melihat perut istrinya yang terburai, padahal dalam perut istrinya itu ada anak pertama mereka yang baru berumur enam bulan. Di jembatan yang membentang di sungai kecil yang melewati Ngalau, dua orang adik kakak mengangkat tubuh bapaknya, yang mati berlumur darah. Sembari membopong mayat bapaknya mereka terus menangis sambil bersumpah bahwa suatu saat mereka akan membalas kepedihan itu dan tidak akan pernah melupakan hari yang menjadikan kampung mereka basah oleh darah sehingga tanah-tanahnya berubah seperti mawar.

Sesampai di rumah, pintu masih terkunci, suara letusan senapan dari Kampung Bansa membuat orang-orang ketakutan hingga mengunci pintu.

“Nisa…bukalah pintu, Nak, Ayah pulang.”

Maya membuka pintu, dalam gendongannya anakku masih ketakutan dan menangis. Aku ambil Nisa dari pangkuan Maya. Dia masih menangis ketika sudah berada di dalam pangkuanku.

“Sudahlah, Nak, jangan menangis. Sudah takdir Tuhan apa yang terjadi.”

Setelah menyampaikan kabar bahwa Ayah meninggal dunia kepada Maya, aku minta diri untuk pergi dan berjanji akan kembali setelah pemakaman Ayah. Sebenarnya Maya ingin pergi ke Kampung Bansa melihat mertuanya untuk terakhir kali, tapi kondisi waktu itu tidak memungkinkan untuk membawanya.

“Tidak usah pergi, doakanlah beliau. Insya Allah Tuhan akan mendengar doa kita.”

Maya masih berat hati untuk tinggal di rumah, apalagi melihat luka di kakiku dia bertambah cemas. Tapi kalau dia pergi, tentu Nisa harus ikut. Aku tidak ingin Nisa melihat Kampung Bansa yang hancur karena perang yang tidak imbang, aku tidak ingin Nisa menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Aku tidak ingin di hatinya bergejolak dendam, terlalu muda baginya untuk merasakan kepedihan itu.

“Maya…ingat Nisa, kasihan dia kalau dibawa ke Kampung Bansa.”

Jam tua di dinding rumah sudah menunjukkan pukul enam. Sekali lagi aku minta izin kepada Maya untuk pergi ke Kampung Bansa. Di sepanjang jalan Kampung Bansa aku masih melihat orang-orang sibuk mengumpulkan orang-orang yang mati karena peluru, karena kelewang kompeni, dan ada juga perempuan-perempuan yang mati dengan aurat terbuka, digilir sampai mati. Bahkan ada juga seorang perempuan yang hancur dadanya dipotong kompeni. Tentunya setelah mereka permainkan sebelumnya. Sungguh kejahatan orang-orang biadab yang tidak kenal adab.

Setelah dikumpulkan mayat-mayat itu, semuanya kira-kira berjumlah seratus orang lebih, di antaranya ada mayat serdadu. Ternyata penduduk tidak diam saat di tembaki, walau dengan tombak dan parang mereka coba melawan senjata-senjata kompeni. Di antara mayat-mayat itu kutemukan juga mayat kemenakan ayahku Ramlah, yang beberapa hari lalu berencana untuk berguru ke Perguruan Tawalib Parabek. Ah…malangnya nasib gadis remaja itu, dia harus mati sebelum cita-citanya sampai untuk menuntut ilmu.

Di sebelah mayat Ramlah, aku lihat ibunya meratap beriba hati. Aku mendekatinya tetapi tidak tahu apa yang harus aku katakan untuk mengobati duka yang menyelimuti dirinya. Aku diam, sembari didalam hati berdoa kepada Tuhan agar memberikan ketabahan di hati Etek[1] dan dibhati seluruh orang-orang yang berduka ketika di hari yang memilukan itu.

“Adikmu sudah berpulang, Ahmad…padahal dia sudah menyiapkan perbekalannya untuk pergi berguru ke Tawalib.”

Masih berat terasa lidahku diajak bicara, tetapi demi menenangkan hati Etek aku coba untuk berkata.

“Semua kita sedang berduka, Etek. Sabarkan hati semoga Ramlah dibawa Tuhan ke sorga.”

Setelah beberapa saat menemani Etek dalam dukanya, aku turut serta dengan penduduk mengumpulkan mayat-mayat para syuhada. Kami cari pedati untuk membawa mereka kepemakaman massal yang telah disiapkan di Kampung Budi, di belakang surau Ayah. (Bersambung)